Suatu Paradoks dari Bangsa Pemilik Pertanian (Indonesia vs Jepang)


Oleh: Riki Laksa Purnama
Menteri Pertanian BEM KM IPB 2014 | Biokimia IPB 2010 | @riki_lpurnama


Suatu Paradoks Pertanian di Negeri Kita L

Kita mengatakan memiliki SDA pertanian yang melimpah tapi kenyataannya kita belum bisa memajukan pertanian. Kita adalah negara agraris, agraris itu banyak petani bukan buruh tani. Kita percaya bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar tetapi bagaimana mungkin kita merasa besar jika masih banyak penduduk miskin dan hutang bangsa ini sangat besar. Dulu negara tetangga belajar pertanian di negeri ini tetapi sekarang kita belajar pertanian (buruh tani) di negeri mereka. Sebagian besar dari sarjana pertanian setiap tahunnya bekerja di sektor nonpertanian. Sebenarnya kita adalah bangsa pemilik tetapi kita tidak bisa menjaga kepemilikannya sehingga apa yang kita miliki diambil oleh negara lain.  Kita ingin melakukan pembangunan pertanian, pada saat bersamaan kita kehilangan banyak hal yang sangat fundamental yaitu salah satunya idealisme pertanian dari suatu bangsa. Secara konsep, kita mempunyai solusi-solusi terbaik dalam mengatasi berbagai permasalahan pertanian tetapi tidak mampu mengeksekusinya dengan baik. DLL.

Berbagai macam paradoks di atas, bukan menjadikan alasan kita untuk diam. Akan tetapi itu merupakan cerminan dan peringatan kita semua untuk saling mengingatkan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi di negeri kita? Apa yang salah dengan negeri pertanian ini, rakyat atau kebijakan pemerintah?  Pertanian itu kompleks, saling mengintegrasikan satu dengan yang lainnya. Untuk memajukan pertanian, tidak hanya satu atau dua peran tetapi semua elemen mulai dari petani, penyuluh, mahasiswa, masyarakat, maupun pemerintah. 


Paradoks Pertanian di Negeri Jepang

            Paradoks juga terjadi di Jepang yang mempunyai SDA berbanding terbalik dengan tingginya kualitas SDM. Mereka mempunyai kualitas SDM yang lebih baik dibandingkan kuantitas SDM. Pembangunan pertanian di negeri Sakura tersebut tergolong maju padahal secara faktor lingkungan tidak mendukung. Faktor lingkungan di Jepang mempunyai 4 musim yaitu musim panas (natsu), musim gugur (aki), musim dingin (fuyu), dan musim semi (haru). Hal tersebut menjadi kesulitan bagi pertanian Jepang untuk menanam komoditas tanaman di musim yang berbeda-beda. Sebesar 12% dari luas daratan di Jepang yang hanya bisa digunakan untuk pertanian namun hasilnya termasuk memuaskan. Tingkat rata-rata usia manusia Jepang sekitar 45 tahun bahkan di pabrik besar sekitar 50 tahunan. Hal tersebut juga menjadi pertanyaan, bagaimana pertanian di negara ini bisa maju dengan para pekerja yang tidak muda lagi? Pastinya untuk mengolah tanah pertanian yang baik, membutuhkan tenaga-tenaga muda. Saat ini, Jepang menjadi korban kemacetan kredit properti Amerika Serikat dengan kerugian sedikitnya 1.5 triliun yen atau sekitar 15 miliar dollar AS dikalangan perbankan dan asuransi. Di sisi lain, utang pemerintah Jepang kepada masyarakat karena penertiban obligasi Jepang (JGB) mencapai sekitar 1.200 triliun yen (Sumber: tribunnews.com). Lantas bagaimana mungkin, jika Nougyou atau pertanian menjadi masa depan Jepang? . . .


Belajar dari Pembangunan Pertanian di Jepang

            Pemerintah dan masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang unik dalam membangun pertanian. Jepang merupakan salah satu negara yang tidak setuju sistem perdagangan atau pasar bebas diberlakukan untuk komoditas pertanian, terutama beras (Irawan 2006). Jepang memproduksi beras untuk kebutuhan masyarakatnya dibandingkan membeli beras di pasar Internasional. Hal tersebut mengakibatkan Jepang tidak bergantung beras dari negara lain walaupun dengan harga yang lebih murah. Mereka mandiri dalam hal memproduksi demi melestarikan fungsi pertanian. Kebijakan perdagangan beras juga bersifat ‘protektif.’ Tarif beras impor dikenakan bea masuk sebesar 490%, yang diperkirakan akan naik menjadi sebesar 778%.

            Petani Jepang mempunyai kehidupan yang layak dan sejahtera. Hal tersebut dilindungi oleh kebijakan pemerintah dan peran masyarakat sekitar. Di salah satu prosedur di Nagoya, MAFF membantu petani lahan sawah sebesar US$ 3.300 /ha / tahun (Rp 31.4 juta). Para petani pemilik lahan sawah dibayar oleh penduduk kota sebesar Rp 2.8 juta/ 100 m2 /tahun dengan ketentuan penduduk kota itu dilibatkan dalam kegiatan tanam dan panen padi serta memperoleh beras sebanyak 10-20 kg (Irawan 2006). Maka jangan heran, jika ada yang bilang petani di Jepang kaya-kaya loh. Mereka bukan buruh tani tapi mereka adalah pemilik pertanian. Bukan lagi, petani yang datang ke pasar untuk menjual hasil pertaniannya tapi mereka yang akan datang ke petani Jepang dengan sendirinya.
            Kemajuan dalam pengembangan bioteknologi di Jepang, yang merupakan salah satu terbaik di dunia. Peneliti disana cerdas dalam mencuri ilmu di negeri Paman Sam yang kemudian diterapkan dan dikembangkan lagi di negeri Sakura. Pengembangan ilmu bioteknologi dapat mengubah tanahnya menjadi lebih baik dan menghasilkan padi terbaik di dunia. Sebagai contoh, beras legit dengan nama koshihikari menjadi primadona dan buruan oleh negara-negara lainnya. Biaya riset dan pengembangan Jepang bisa mencapai 30 persen dari sales yang dihasilkan oleh perusahaan. Cukup besar memang biaya dan anggaran yang dikeluarkan. Rasanya tidak mungkin, jika di masa depan Jepang akan menekankan ke sektor pertanian.

Bangsa Pemilik Pertanian, Indonesia ataukah Jepang? . . .

            Indonesia dan Jepang sama-sama memiliki suatu paradoks dari pertanian. Bedanya Indonesia adalah paradoks yang mengarah ke sisi negatif sedangkan Jepang adalah paradoks yang mengarah sebaliknya yaitu sisi positif. Tuhan sangatlah adil dalam memberikan sesuatu hal kepada umat manusia. Tatkala menurunkan suatu hal maka akan meninggikan yang lainnya. Kita sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya saja dari kacamata penulis, Indonesia terlalu fokus kepada kelemahannya sedangkan jepang bisa memfokuskan diri pada kelebihannya. Tidak mengeluh adalah bagian dari rasa syukur kita, yang kelak akan ditambahkan kenikmatan itu. Poin hidup kita adalah belajar, Indonesia belajar dari Jepang dan Jepang belajar dari Indonesia sehingga kita sama-sama belajar dari kekurangan maupun kelebihan pertanian.

Bangsa pemilik pertanian bukan mereka yang mempunyai tanah subur ataupun bioteknolgi yang maju tapi mereka lah yang saling bekerjasama, belajar-mengajarkan dan menjalin tali persaudaraan sehingga tanah pertanian ini bisa dimiliki oleh semua makhluk. J


-Salam Pertanian Indonesia-

0 comments: